bahaya kehamilan usia remaja

Bahaya Kehamilan di Usia Remaja

Posted on April 29th, 2009 in Kesehatan

Oleh : Surani. W

MENURUT WHO (World Health Organization) risiko kematian pada persalinan usia remaja kurang dari 19 tahun, dua kali lipat dari risiko melahirkan di usia lebih dari 20 tahun. Angka risiko kematian pada persalinan ini akan menjadi 5 kali lebih tinggi bila melahirkan di usia antara 10 sampai 15 tahun.

Dokter spesialis kandungan dan kebidanan Rumah Sakit Husada Balikpapan (RSHB) Ahmad Yasa, Sp.OG mengatakan, kehamilan remaja termasuk kehamilan risiko tinggi, yang akan meningkatkan kesakitan dan kematian ibu maupun janinnya. Semakin muda usia ibu yang sedang hamil, maka risiko yang dihadapi akan menjadi semakin besar.

Menurutnya, penyulit yang terjadi selama kehamilan dan persalinan pada kehamilan remaja lebih besar dibandingkan dengan kehamilan usia lebih 20 tahun.

Dijelaskan, adapun beberapa komplikasi yang sering timbul pada kehamilan remaja antara lain adalah terjadinya “keracunan” kehamilan atau biasa disebut eklampsia, yang ditandai tekanan darah tinggi dan kejang, perdarahan pada saat atau sesudah persalinan, persalinan macet yang akhirnya menjalani operasi sesar, bayi berat badan lahir rendah (BBLR), cacat pada janin, dan infeksi.

“Semua komplikasi di atas berisiko menyebabkan kematian pada ibu maupun kematian pada bayi,” sebut pria yang akrab disapa dr Yasa ini.

Lebih lanjut dijelaskan, risiko komplikasi kehamilan dan komplikasi persalian akan semakin tinggi seiring semakin mudanya usia seorang remaja. Risiko komplikasi tertinggi akan terjadi pada kehamilan remaja di usia 20 tahun ke bawah, karena rongga panggul belum tumbuh mencapai ukuran dewasa, belum berkembang matang sehingga rongga panggulnya sangat sempit.

“Hal ini menyebabkan persalinan macet, sehingga ketika melahirkan, rongga panggulnya tidak bisa dilalui oleh kepala bayi yang normalnya berdiamater antara 9-10 cm. Bila demikian, maka persalinan harus melalui operasi sesar,” ucapnya.

Yasa mengatakan, menurut beberapa penelitian, kehamilan usia remaja, di samping berdampak buruk terhadap kesehatan, juga berdampak terhadap sosial ekonomi dan psikologi. Tidak sedikit wanita pascapersalinan yang mengalami depresi.

Di samping itu juga dikatakan, wanita yang menikah di usia muda atau berhubungan seks pertama kali di usia kurang dari 19 tahun juga akan berisiko menderita kanker leher rahim.

”Penyakit kanker leher rahim adalah penyebab kematian tertinggi pada kaum wanita di Indonesia. Tetapi ini bukan berarti semua wanita yang menikah dan kemudian hamil sebelum berumur 19 tahun, pasti menderita kanker leher rahim. Namun riset membuktikan bahwa risiko menderita kanker leher rahim peluangnya sangat tinggi bila seorang wanita melakukan hubungan seks pertama lalu hamil di usia kurang dari 19 tahun,” terangnya.

Nah, bagi wanita remaja yang sudah terlanjur menikah di usia remaja, disarankan untuk melakukan pencegahan terhadap kanker leher rahim, yakni dengan pemberian vaksin antikanker rahim. Di samping itu, perlu pula melakukan pemeriksaan deteksi dini kanker leher rahim (Pap Smear), setidaknya setelah 3 tahun menikah atau 3 tahun setelah hubungan seksual pertama kali.

“Kemudian juga menunda kehamilan hingga usia 19 tahun, dengan cara menggunakan alat kontrasepsi atau keluarga berencana (KB),” tandasnya.(dha)

teori pengetahuan

Selasa, 2008 Juni 09
Oleh : Dian. F.
Teori Pengetahuan ???

Apa juga ya Pengetahuan itu ????

Sub Pokok Bahasan : Konsep Pengetahuan
1. Pengertian
2. Tingkat Pengetahuan
3. Cara Memperoleh Pengetahuan
4. Proses Prilaku Tahu
5. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pengetahuan
6. Kriteria Tingkat Pengetahuan

Konsep Pengetahuan
Pengertian
Pengetahuan adalah merupakan hasil ”tahu” dan ini terjadi setelah orang mengadakan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terhadap obyek terjadi melalui panca indra manusia yakni penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba dengan sendiri. Pada waktu pengindraan sampai menghasilkan pengetahuan tersebut sangat dipengaruhi oleh intensitas perhatian persepsi terhadap obyek. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga. (Notoatmodjo, 2003)
Pengetahuan itu sendiri dipengaruhi oleh faktor pendidikan formal. Pengetahuan sangat erat hubungannya dengan pendidikan, dimana diharapkan bahwa dengan pendidikan yang tinggi maka orang tersebut akan semakin luas pula pengetahuannya. Akan tetapi perlu ditekankan, bukan berarti seseorang yang berpendidikan rendah mutlak berpengetahuan rendah pula. Hal ini mengingat bahwa peningkatan pengetahuan tidak mutlak diperoleh dari pendidikan non formal saja, akan tetapi dapat diperoleh melalui pendidikan non formal. Pengetahuan seseorang tentang suatu objek mengandung dua aspek yaitu aspek positif dan aspek negatif. Kedua aspek ini yang akan menentukan sikap seseorang, semakin banyak aspek positif dan objek yang diketahui, maka akan menimbulkan sikap makin positif terhadap objek tertentu. Menurut teori WHO (World Health Organization) yang dikutip oleh Notoatmodjo (2007), salah satu bentuk objek kesehatan dapat dijabarkan oleh pengetahuan yang diperoleh dari pengalaman sendiri.

Tingkat Pengetahuan
Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang (ovent behavior). Dari pengalaman dan penelitian ternyata perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng daripada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan.



Pengetahuan yang cukup didalam domain kognitif mempunyai 6 tingkat yaitu: (Notoadmodjo, 2003)
a. Tahu (Know)
Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya. Termasuk ke dalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali (recall) terhadap suatu yang spesifik dan seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima. Oleh sebab itu ”tahu” ini adalah merupakan tingkat pengetahuan yang paling rencah. Kata kerja untuk mengukur bahwa orang tahu tentang apa yang dipelajari yaitu menyebutkan, menguraikan, mengidentifikasi, menyatakan dan sebagainya.


b. Memahami (Comprehention)
Memahami artinya sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang obyek yang diketahui dan dimana dapat menginterprestasikan secara benar. Orang yang telah paham terhadap objek atau materi terus dapat menjelaskan, menyebutkan contoh, menyimpulkan, meramalkan dan sebagainya terhadap suatu objek yang dipelajari.


c. Aplikasi (Application)
Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi ataupun kondisi riil (sebenarnya).
Aplikasi disini dapat diartikan aplikasi atau penggunaan hukum-hukum, rumus, metode, prinsip dan sebagainya dalam konteks atau situasi yang lain.


d. Analisis (Analysis)
Analisis adalah suatu kemampuan untuk menyatakan materi atau suatu objek kedalam komponen-komponen tetapi masih di dalam struktur organisasi tersebut dan masih ada kaitannya satu sama lain.


e. Sintesis (Syntesis)
Sintesis yang dimaksud menunjukkan pada suatu kemampuan untuk melaksanakan atau menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu keseluruhan yang baru. Dengan kata lain sintesis adalah suatu kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari formulasi yang ada.




f. Evaluasi (Evaluation)
Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaian-penilaian itu berdasarkan suatu kriteria yang ditentukan sendiri atau menggunakan kriteria-kriteria yang telah ada.

Cara Memperoleh Pengetahuan
Cara memperoleh pengetahuan yang dikutip dari Notoadmojo,2003:11 adalah sebagai berikut :
1. Cara kuno untuk memperoleh pengetahuan
a. Cara coba salah (Trial and Error)
Cara ini telah dipakai orang sebelum kebudayaan, bahkan maungkin lsebelum adanya peradaban. Cara coba salah ini dilakukan dengan menggunakan kemungkinan dalam memecahkan masalah dan apabila kemungkinan itu tidak berhasil maka dicoba. Kemungkinan yang lain sampai masalah tersebut dapat dipecahkan.



b. Cara kekuasaan atau otoritas
Sumber pengetahuan cara ini dapat berupa pemimpin-pimpinan masyarakat baik formal atau informal, ahli agama, pemegang pemerintah, dan berbagai prinsip orang lain yang menerima mempunyai yang dikemukakan oleh orang yang mempunyai otoritas, tanpa menguji terlebih dahulu atau membuktikan kebenarannya baik berdasarkan fakta empiris maupun penalaran sendiri.



c. Berdasarkan pengalaman pribadi
Pengalaman pribadipun dapat digunakan sebagai Upaya memperoleh pengetahuan dengan cara mengulang kembali pengalaman yang pernah diperoleh dalam memecahkan permasalahan yang dihadapi masa lalu.

2. Cara modern dalam memperoleh pengetahuan
Cara ini disebut metode penelitian ilmiah atau lebih popular atau disebut metodologi penelitian. Cara ini mula-mula dikembangkan oleh Francis Bacon (1561-1626), kemudian dikembangkan oleh Deobold Van Daven. Akhirnya lahir suatu cara untuk melakukan penelitian yang dewasa ini kita kenal dengan penelitian ilmiah.

Proses Prilaku TAHU
Menurut Rogers (1974) yang dikutip oleh Notoatmodjo (2003), perilaku adalah semua kegiatan atau aktifitas manusia baik yang dapat diamati langsung dari maupun tidak apat diamati oleh pihak luar. Sedangkan sebelum mengadopsi perilaku baru di dalam diri orang tersebut terjadi proses yang berurutan, yakni :
1. Awareness (kesadaran) dimana orang tersebut menyadari dalam arti mengetahui terlebih dahulu terhadap stimulus (objek)
2. Interest (merasa tertarik) dimana individu mulai menaruh perhatian dan tertarik pada stimulus.
3. Evaluation (menimbang-nimbang) individu aka mempertimbangkan baik buruknya tindakan terhadap stimulus tersebut bagi dirinya, hal ini berarti sikap responden sudah lebih baik lagi.
4. Trial, dimana individu mulai mencoba perilaku baru
5. Adaption, dan sikapnya terhadap stimulus



Pada penelitian selanjutnya, Rogers (1974) yang dikutip oleh Notoatmodjo (2003), menyimpulkan bahwa pengadopsian perilaku yang melalui proses seperti diatas dan didasari oleh pengetahuan, kesadaran yang positif, maka perilaku tersebut akan bersifat langgeng (ling lasting) namun sebaliknya jika perilaku itu tidak didasari oleh pengetahuan dan kesadaran, maka perilaku tersebut bersifat sementara atau tidak akan berlangsung lama. Perilaku manusia dapat dilihat dari tiga aspek, yaitu aspek fisik, psikis dan sosial yang secara terinci merupakan refleksi dari berbagai gejolak kejiwaan seperti pengetahuan, motivasi, persepsi, sikap dan sebagainya yang ditentukan dan dipengaruhi oleh faktor pengalaman, keyakinan, sarana fisik dan sosial budaya.

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pengetahuan
a. Faktor Internal
1. Pendidikan
Pendidikan berarti bimbingan yang diberikan seseorang terhadap perkembangan orang lain menuju kearah cita-cita tertentu yang menentukan manusia untuk berbuat dan mengisi kehidupan untuk mencapai keselamatan dan kebahagiaan. Pendidikan diperlukan untuk mendapat informasi misalnya hal-hal yang menunjang kesehatan sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup.
Menurut YB Mantra yang dikutip Notoadmojo (2003), pendidikan dapat mempengaruhi seseorang termasuk juga perilaku seseorang akan pola hidup terutama dalam memotivasi untuk sikap berperan serta dalam pembangunan (Nursalam, 2003) pada umumnya makin tinggi pendidikan seseorang makin mudah menerima informasi.




2. Pekerjaan
Menurut Thomas yang dikutip oleh Nursalam (2003), pekerjaan adalah keburukan yang harus dilakukan terutama untuk menunjang kehidupannya dan kehidupan keluarga. Pekerjaan bukanlah sumber kesenangan, tetapi lebih banyak merupakan cara mencari nafkah yang membosankan, berulang dan banyak tantangan. Sedangkan bekerja umumnya merupakan kegiatan yang menyita waktu. Bekerja bagi ibu-ibu akan mempunyai pengaruh terhadap kehidupan keluarga.


3. Umur
Menurut Elisabeth BH yang dikutip Nursalam (2003), usia adalah umur individu yang terhitung mulai saat dilahirkan sampai berulang tahun. Sedangkan menurut Huclok (1998) semakin cukup umur, tingkat kematangan dan kekuatan seseorang akan lebih matang dalam berfikir dan bekerja. Dari segi kepercayaan masyarakat seseorang yang lebih dewasa dipercaya dari orang yang belum tinggi kedewasaannya. Hal ini akan sebagai dari pengalaman dan kematangan jiwa.

b. Faktor Eksternal
1. Faktor Lingkungan
Menurut Ann.Mariner yang dikutip dari Nursalam (3 lingkungan merupakan seluruh kondisi yang ada disekitar manusia dan pengaruhnya yang dapat mempengaruhi perkembangan dan perilaku orang atau kelompok.
2. Sosial Budaya
Sistem sosial budaya yang ada pada masyarakat dapat mempengaruhi dari sikap dalam menerima informasi.

3. Informasi

Pengetahuan diperoleh melalui informasi yaitu kenyataan (fakta) dan melihat dan mendengar sendiri. Seseorang yang yang mempunyai sumber informasi yang lebih banyak akan mempunyai pengetahuan yang lebih luas




Kriteria Tingkat Pengetahuan
Menurut Arikunto (2006) pengetahuan seseorang dapat diketahui dan diinterprestasikan dengan skala yang bersifat kualitatif, yaitu :
1. Baik : Hasil presentase 76% - 100%
2. Cukup : Hasil presentase 56% – 75%
3. Kurang : Hasil presentase <>

di Tulis oleh @Lia di 08:43

Reaksi:



0 komentar:
Poskan Komentar

Posting Lebih Baru Posting Lama Halaman Muka

Langgan: Poskan Komentar (Atom)
Gabung Yuk...

Post

Atom

Post

Komentar

Atom

Komentar

Anda membutuhkan ilmu kebidanan?

Pengikut

Daftar Blog Saya

*

http//blogger.com: The Leading Genealogy Site on the Net

-

Sugeng Rawuh Nggeh...

Midwifery @Kebidanan

My Princes

My Princes

I Love My Princes

I Love My Princes

BELAJAR YUUUK

* Artikel Kesehatan
* Asuhan Kebidanan Kehamilan
* Asuhan Kebidanan Komunitas
* Asuhan Kebidanan Neonatus, Bayi dan Balita
* Asuhan Kebidanan NIfas
* Asuhan Kebidanan Patologi
* Asuhan Kebidanan Persalinan
* CURHAT aku
* ILMU KESEHATAN ANAK
* Teori-teori Up date

Arsip Blog

* ▼ 2009 (17)
o ► Agustus (1)
+ ► Agu 17 (1)
# Marhaban Ya Ramadhan....
o ► Juli (1)
+ ► Jul 25 (1)
# Teori PERAN ???
o ▼ Juni (3)
+ ▼ Jun 09 (3)
# Teori KEPATUHAN ???
# Teori MOTIVASI
# Teori Pengetahuan ???
o ► Mei (6)
+ ► Mei 29 (3)
# PERDARAHAN AKIBAT DEFISIENSI VITAMIN K (PDVK)
# Apakah Vitamin K itu ???
# Profilaksis Vit K1 bayi baru lahir
+ ► Mei 27 (1)
# SeNaM HaMiL
+ ► Mei 23 (1)
# Making Pregnancy Safer (MPS)
+ ► Mei 21 (1)
# Pentingnya Mobilisasi Dini
o ► Januari (6)
+ ► Jan 15 (1)
# Kanker Rahim Pada Wanita
+ ► Jan 09 (1)
# Bagaimana ya si kecil "Bayi" saat dia lahir ??
+ ► Jan 08 (1)
# Manajemen Awal Kala I Persalinan
+ ► Jan 04 (1)
# Posisi Tidur Terbaik Selama Kehamilan
+ ► Jan 01 (2)
# BAYI BESAR VS MAKROSOMIA VS GAINT BABY
# Obesitas dan Kehamilan

* ► 2008 (20)
o ► Desember (8)
+ ► Des 16 (1)
# Anda membutuhkan materi Kebidanan ???
+ ► Des 12 (4)
# MITOS-MiToS PeRaWaTaN BaYi
# HypnoBirthing, Teknik Melahirkan Minus Rasa Takut
# KeHaMiLaN ReSiKo TiNgGi (KRT)
# 4 terlalu dan 3 terlambat
+ ► Des 01 (3)
# IKTERUS NEONATORUM
# Adaptasi Bayi Baru Lahir
# Pengkajian Fisik Bayi Baru Lahir
o ► November (10)
+ ► Nov 29 (1)
# BBLR (BAYI BERAT LAHIR RENDAH)
+ ► Nov 28 (1)
# All About PRE EKLAMPSIA DAN EKLAMPSIA
+ ► Nov 15 (2)
# Inilah Keluargaku....
# Slamat Jalan KakakKu Sayang...
+ ► Nov 11 (1)
# My dreams...
+ ► Nov 08 (1)
# Putri Rahmalia Achmad
+ ► Nov 07 (2)
# Wisuda Pertama Poltekes yapkesbi Sukabumi
# Kebersamaan...
+ ► Nov 06 (1)
# Oh musim....
+ ► Nov 01 (1)
# My best Friend...
o ► Oktober (1)
+ ► Okt 20 (1)
# Kampusku
o ► September (1)
+ ► Sep 19 (1)
# Rotasi kehidupan

Tampilan slide

Google Music Search

Bu'E Calendar



World Clocks

TeleMessage SMS Sender

Baris Video







powered by


Terimakasih

Atas Kunjungan anda ke Blog ini. Smoga apa yang anda Baca dalam Blog ini bermanfaat buat Anda. Aminnnn

HUBUNGAN ANTARA LAMA BEDREST DENGAN KEJADIAN GANGGUAN ELIMINASI BUANG AIR BESAR (BAB) PADA PASIEN JANTUNG KORONER

BAB I

PENDAHULUAN



A. Latar belakang

Seiring dengan kemajuan teknologi membuat masyarakat kita mengalami pergeseran dari masyarakat kuno menjadi modern. Penyakit kardiovaskuler merupakan penyebab kematian terbesar di Negara berkembang seperti Indonesia. Dari 50 juta kematian per tahun akibat penyakit kardiovaskuler, 39 juta terjadi di Negara berkembang. Di Indonesia sekarang ini menempati urutan yang pertama sebagai penyebab kematian. Dulu penyakit tersebut diderita oleh orang tua terutama yang berumur 60 tahun ke atas, karena usia merupakan salah satu faktor resiko terkena penyakit jantung. Namun sekarang ini ada kecenderungan juga diderita oleh pasien di bawah usia 40 tahun. Hal ini bisa terjadi karena adanya perubahan gaya hidup, terutama pada orang muda perkotaan modern (Yahya, 2006).

Pada tahun 2020 diperkirakan penyakit cardiovasculer menjadi penyebab kematian 25 orang setiap tahunnya. Oleh karena itu, penyakit jantung koroner menjadi penyebab kematian dan kecacatan nomer satu di dunia. Sedangkan menurut WHO mencatat lebih dari 7 juta orang meninggal akibat penyakit jantung koroner di seluruh dunia pada tahun 2002. Dan angka ini diperkirakan akan meningkat hingga 11 juta orang pada tahun 2020. Untuk Indonesia sendiri hasil Survei Kesehatan Nasional pada tahun 2001 menunjukkan tiga dari 1000 penduduk Indonesia mengalami penyakit jantung koroner.

Menurut Maulana (2007), serangan jantung adalah suatu kondisi ketika kerusakan dialami oleh bagian otot jantung (myocardium) akibat sangat berkurangnya pasokan darah ke jantung dan itu terjadi mendadak. Serangan jantung ini digambarkan sebagai rasa sakit yang amat sangat dibagian dada yang terjadi terus menerus hingga setengah jam.

Setelah penurunan nyeri dada pada pasien jantung koroner, terapi yang paling penting dilakukan adalah untuk memaksimalkan curah jantung sementara beban jantung terbatas. Meminimalkan beban kerja jantung dapat dilakukan dalam berbagai cara salah satunya dengan pemberian bedrest. Kerja miokard dapat dibatasi hanya dengan mengurangi penggunaan energi oleh seluruh tubuh. Pengobatan primer yang diberikan pada pasien penyakit jantung adalah tirah baring, agar jaringan yang mengalami infark membaik, dengan demikian akan mengurangi insidens terjadinya komplikasi. Sehingga dapat menyelamatkan daerah sistemik disekitar infark, dengan demikian mengurangi ukuran akhir infark. Tirah baring merupakan suatu intervensi dimana klien dibatasi untuk tetap berada ditempat tidur untuk tujuan teraupetik (Potter & Perry, 2005).

Perubahan dalam tingkat mobilisasi fisik dapat mengakibatkan instruksi pembatasan gerak dalam bentuk tirah baring atau bedrest, pembatasan gerak fisik selama penggunaan alat bantu eksternal, pembatasan gerakan volunter, atau kehilangan fungsi motorik. Adapun pengaruh fisiologi antara lain perubahan metabolik, perubahan sistem respiratori, perubahan sistem kardiovaskuler, perubahan sistem muskuloskeletal, perubahan sistem integumen, perubahan eleminasi dalam hal ini bisa terjadi perubahan pola eliminasi urine dan bowel. Konstipasi adalah penurunan frekuensi defekasi, yang diikuti oleh pengeluaran feses yang lama atau keras dan kering (Potter & Perry, 2005). Hampir setiap orang suatu saat pasti akan mengalami konstipasi. Penyebab terbanyak adalah diit yang kurang baik dan kurang olah raga. Di Amerika Serikat lebih dari 4 juta penduduk mempunyai keluhan sering konstipasi, hingga prevalensinya mencapai sekitar 2 %. Konstipasi diperkirakan menyebabkan 2,5 juta penderita berkunjung ke dokter setiap tahunnya. Sebagian besar penderita konstipasi dapat diobati secara medik, menghasilkan perbaikan keluhan. Pada tahun 1999 Komite Konsensus Internasional telah membuat suatu pedoman untuk membuat diagnosis konstipasi. Diagnosis dibuat berdasar adanya keluhan paling sedikit 2 dari beberapa keluhan berikut, minimal dalam waktu 1 tahun tanpa pemakaian laksans (kriteria Roma II), yaitu (Whitehead 1999) : (1) defekasi kurang dari 3x/minggu, (2) mengejan berlebihan minimal 25 % selama defekasi, (3) perasaan tidak puas berdefekasi minimal 25 % selama defekasi, (4) tinja yang keras minimal 25 %, (5) perasaan defekasi yang terhalang, dan (6) penggunaan jari untuk usaha evakuasi tinja.

Adapun efek dari konstipasi pada pasien jantung koroner ini adalah dapat meningkatkan beban kerja jantung saat defekasi. Manuver valsava akan merangsang peningkatan beban kerja jantung dan mencetuskan nyeri dada berulang.

Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan di RSUD xxxxxx pada bulan Desember tahun 2007 diperoleh data yaitu untuk rawat inap pada pasien jantung koroner pada bulan Januari – Oktober 2007 sebanyak 275 kasus (Rekam Medis RSUD xxxxxxxx, 2007). Umumnya pasien saat mengalami nyeri akut akan di rawat di ICCU dulu kemudian baru di pindahkan ke ruangan. Pada pasien yang di rawat inap biasanya menempati Ruang Anggrek I. Menurut Kepala Ruang Anggrek pasien jantung khususnya jantung koroner kini tidak hanya diderita oleh kalangan ekonomi atas namun kini banyak yang berasal dari kalangan ekonomi rendah. Sedangkan menurut perawat di ICCU pasien penyakit jantung koroner umumnya akan dilakukan bedrest selama 5-7 hari. Dan pasien yang mengalami gangguan eliminasi itu rata-rata 80%. Mengingat banyaknya pasien yang dilakukan bedrest, pasien takut untuk melakukan gerakan dimana mereka beranggapan akan dapat menimbulkan nyeri lagi, namun efek dari bedrest itu sendiri akan beresiko terjadi penurunan peristaltik usus yang mengakibatkan terjadinya konstipasi. Konstipasi ini biasanya terjadi pada hari ke 3 maupun hari ke 4 pasien itu dirawat namun, hal itu tergantung dari keadaan pasien.





Berdasarkan uraian tersebut penulis sangat tertarik melakukan penelitian yang berjudul. ”Hubungan Lama Bedrest dengan Kejadian Gangguan Eliminasi Buang Air Besar (BAB) pada Pasien Jantung Koroner”.



B. Masalah penelitian

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka dapat dirumuskan masalah penelitian “Adakah hubungan antara lama bedrest dengan kejadian gangguan eliminasi buang air besar (BAB) pada pasien jantung koroner ?”



C. Tujuan penelitian

1. Tujuan umum

Mengetahui hubungan antara lama bedrest dengan kejadian gangguan eliminasi buang air besar (BAB) pada pasien jantung koroner.

2. Tujuan khusus

a. Mengetahui gambaran lama bedrest pada pasien jatung koroner.

b. Mengetahui kejadian gangguan eliminasi buang air besar (BAB) pada pasien jantung koroner.

c. Mengetahui hubungan antara lama bedrest dengan kejadian gangguan eliminasi buang air besar (BAB) pada pasien jantung koroner.



D. Manfaat penelitian

1. Bagi Peneliti

Sebagai sarana dalam menerapkan ilmu dan teori yang didapat saat di bangku kuliah. Selain itu juga untuk menambah pengalaman dan wawasan peneliti tentang hubungan antara lama bedrest dengan kejadian gangguan eliminasi buang air besar (BAB) pada pasien jantung koroner serta memperkaya pengetahuan tentang peran perawat sebagai peneliti dan memanfaatkan hasil penelitian untuk meningkatkan mutu pelayanan keperawatan.

2. Bagi institusi

Hasil penelitian ini dapat dijadikan masukan bagi tenaga kesehatan dalam memberikan pelayanan kesehatan terutama pada pasien penyakit jantung koroner pada saat memberikan tindakan prosedural.

3. Bagi masyarakat

Sebagai sumber informasi bagi masyarakat sehingga dapat mengetahui masalah-masalah gangguan eliminasi buang air besar (BAB) akibat lama bedrest pada pasien jantung koroner.





4. Bagi peneliti lain

Diharapkan penelitian ini dapat bermanfaat untuk mengembangkan penelitian selanjutnya.

5. Bagi perawat

Hasil penelitian ini diharapkan sebagai masukan agar nantinya saat pemberian asuhan keperawatan tidak mengabaikan adanya efek dari penatalaksanaan yang diberikan pada pasien yang mengalami panyakit jantung khususnya jantung koroner.

hubungan antara komunikasi orang tua – anak dengan kepercayaan diri pada remaja

BAB I

PENDAHULUAN



A. Latar Belakang

Masa remaja adalah suatu masa yang paling menarik dan berkesan bagi kebanyakan orang. Masa dimana terjadi perubahan besar dan timbulnya begitu banyak gejolak dalam diri seseorang. Suatu masa dimana remaja menunjukkan dengan jelas sifat-sifat masa transisi atau peralihan. Masa remaja merupakan sebuah periode dalam kehidupan manusia yang batasannya usia maupun peranannya seringkali tidak terlalu jelas. Pubertas yang dahulu dianggap sebagai tanda awal keremajaan ternyata tidak lagi valid sebagai patokan atau batasan untuk pengkategorian remaja sebab usia pubertas yang dahulu terjadi pada akhir usia belasan (15-18) kini terjadi pada awal belasan bahkan sebelum usia 11 tahun. Seorang anak berusia 10 tahun mungkin saja sudah (atau sedang) mengalami pubertas namun tidak berarti ia sudah bisa dikatakan sebagai remaja dan sudah siap menghadapi dunia orang dewasa. Ia belum siap menghadapi dunia nyata orang dewasa, meski di saat yang sama ia juga bukan anak-anak lagi (Setiono, 2002).

Menurut Potter dan Perry (2005), remaja atau adolesens adalah periode perkembangan dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa, biasanya antara usia 13 dan 20 tahun. Masa remaja adalah waktu terjadinya perubahan dan pertumbuhan fisik, kognitif dan psikososil yang besar (Nelson, 1999). Pada masa ini remaja mulai bertanya-tanya mengenai berbagai fenomena yang terjadi di lingkungan sekitarnya sebagai dasar bagi pembentukan nilai diri mereka. Elliot Turiel (1978) dalam Setiono (2002) menyatakan bahwa para remaja mulai membuat penilaian tersendiri dalam menghadapi masalah-masalah populer yang berkenaan dengan lingkungan mereka, misalnya: politik, kemanusiaan, perang, keadaan sosial, dsb. Remaja tidak lagi menerima hasil pemikiran yang kaku, sederhana, dan absolut yang diberikan pada mereka selama ini tanpa bantahan. Remaja mulai mempertanyakan keabsahan pemikiran yang ada dan mempertimbangan lebih banyak alternatif lainnya. Secara kritis, remaja akan lebih banyak melakukan pengamatan keluar dan membandingkannya dengan hal-hal yang selama ini diajarkan dan ditanamkan kepadanya. Sebagian besar para remaja mulai melihat adanya “kenyataan” lain di luar dari yang selama ini diketahui dan dipercayainya.

Masa remaja merupakan masa paling tidak stabil dalam kehidupan perjalanan manusia. Pada masa ini remaja mempunyai banyak masalah yang amat menarik untuk dibicarakan. Dari mulai kecantikan, narkoba, kenakalan remaja, prososial, agresi, masalah perilaku seks remaja dan kepercayaan diri. Masalah kepercayaan diri merupakan salah satu masalah yang sering dihadapi oleh remaja karena pada masa ini terjadi begitu banyak perubahan, dimulai dari perubahan bentuk tubuh sampai perubahan emosional yang cenderung meledak-ledak. Diantara semua perubahan yang terjadi, perubahan bentuk tubuhlah yang paling menonjol. Bahkan karena perubahan tersebut remaja mengalami krisis percaya diri.. Untuk mengatasi krisis percaya diri yang terjadi pada sejumlah remaja, orangtua mempunyai peran yang besar dalam mengembalikan kepercayaan diri remaja. Bagaimanapun masa remaja adalah masalah peralihan yang cukup berat dirasakan oleh anak. Bahkan banyak diantaranya yang menghabiskan waktunya berjam-jam di depan kaca, karena ia sedang berusaha untuk tampil sesempurna mungkin (Safitri, 2007).

Percaya diri adalah kepercayaan akan kemampuan sendiri yang memadai dan menyadari kemampuan yang dimiliki, serta dapat memanfaatkan secara tepat. Percaya diri juga merupakan modal dasar untuk pengembangan dalam aktualisasi diri (eksplorasi segala kemampuan dalam diri). Dengan percaya diri seseorang akan mampu mengenal dan memahami diri sendiri (Iswidharmanjaya, 2004). Sedangkan menurut Inge (2007), rasa percaya diri adalah seberapa besar nilai kita, seberapa besar kita dicintai, seberapa besar kita merasa diterima oleh lingkungan dan dianggap baik oleh orang lain. Dan juga seberapa besar kita mencintai dan menerima diri kita. Individu dengan percaya diri mampu merasa nyaman dengan dirinya , menghargai dirinya sendiri dan bangga pada kemampuan yang dimiliki.

Para ahli berkeyakinan bahwa kepercayaan diri bukanlah diperoleh secara instant, melainkan melalui proses yang berlangsung sejak usia dini, dalam kehidupan bersama orangtua. Meskipun banyak faktor yang mempengaruhi kepercayaan diri seseorang, namun faktor pola asuh dan interaksi di usia dini, merupakan faktor yang amat mendasar bagi pembentukan rasa percaya diri. Sikap orangtua, akan diterima oleh anak sesuai dengan persepsinya pada saat itu. orangtua yang menunjukkan kasih, perhatian, penerimaan, cinta dan kasih sayang serta kelekatan emosional yang tulus dengan anak, akan membangkitkan rasa percara diri pada anak tersebut. Anak akan merasa bahwa dirinya berharga dan bernilai di mata orangtuanya walaupun ia melakukan kesalahan, dari sikap orangtua anak melihat bahwa dirinya tetaplah dihargai dan dikasihi. Anak dicintai dan dihargai bukan tergantung pada prestasi atau perbuatan baiknya, namun karena eksisitensinya. Dikemudian hari anak tersebut akan tumbuh menjadi individu yang mampu menilai positif dirinya dan mempunyai harapan yang realistik terhadap diri – seperti orangtuanya meletakkan harapan realistik terhadap dirinya (Jacinta, 2002)

Lain halnya dengan orangtua yang kurang memberikan perhatian pada anak, atau suka mengkritik, sering memarahi anak namun kalau anak berbuat baik tidak pernah dipuji, tidak pernah puas dengan hasil yang dicapai oleh anak, atau pun seolah menunjukkan ketidakpercayaan mereka pada kemampuan dan kemandirian anak dengan sikap overprotective yang makin meningkatkan ketergantungan. Tindakan overprotective orangtua, menghambat perkembangan kepercayaan diri pada anak karena anak tidak belajar mengatasi problem dan tantangannya sendiri – segala sesuatu disediakan dan dibantu orangtua. Anak akan merasa, bahwa dirinya buruk, lemah, tidak dicintai, tidak dibutuhkan, selalu gagal, tidak pernah menyenangkan dan membahagiakan orangtua. Anak akan merasa rendah diri di mata saudara kandungnya yang lain atau di hadapan teman-temannya (Cholichul, 2007)

Menurut para psikolog, orangtua dan masyarakat seringkali meletakkan standar dan harapan yang kurang realistik terhadap seorang anak atau pun individu. Sikap suka membanding-bandingkan anak, mempergunjingkan kelemahan anak, atau pun membicarakan kelebihan anak lain di depan anak sendiri, tanpa sadar menjatuhkan harga diri anak-anak tersebut. Selain itu, tanpa sadar masyarakat sering menciptakan trend yang dijadikan standar patokan sebuah prestasi atau pun penerimaan sosial. Situasi ini pada akhirnya mendorong anak tumbuh menjadi individu yang tidak bisa menerima kenyataan dirinya, karena di masa lalu (bahkan hingga kini), setiap orang mengharapkan dirinya menjadi seseorang yang bukan dirinya sendiri. Dengan kata lain, memenuhi harapan sosial. Akhirnya, anak tumbuh menjadi individu yang punya pola pikir : bahwa untuk bisa diterima, dihargai, dicintai, dan diakui, harus menyenangkan orang lain dan mengikuti keinginan mereka. Pada saat individu tersebut ditantang untuk menjadi diri sendiri – mereka tidak punya keberanian untuk melakukannya. Rasa percaya dirinya begitu lemah, sementara ketakutannya terlalu besar (Jacinta, 2002)

Peranan orangtua atau keluarga amatlah besar dalam memberikan alternatif jawaban dari hal-hal yang dipertanyakan oleh putra-putri remajanya. Perkembangan jaman yang pesat sekarang ini turut memberi andil pula dalam kehidupan keluarga. Komunikasi keluarga menjadi “barang mahal dan barang langka” karena masing-masing sibuk dengan urusan, pikiran dan perasaannya masing-masing. Akhirnya, komunikasi yang tercipta di dalam keluarga, adalah komunikasi yang sifatnya informatif dan superfisial (hanya sebatas permukaan). Sementara ayah sibuk dengan pekerjaan dan kariernya dikantor, ibu membicarakan tentang teman kerja di kantor, rencana bisnis ibu, rencana masak memasak, pertemuan arisan, acara televisi baru, atau membicarakan tentang anak teman ibu yang punya masalah. Anak-anak, punya dunianya sendiri yang sarat dengan keanekaragaman pengalaman dan cerita-cerita seru yang beredar di kalangan teman-teman mereka. Komunikasi, sesungguhnya tidak hanya terbatas dalam bentuk kata-kata. Komunikasi, adalah ekspresi dari sebuah kesatuan yang sangat kompleks : bahasa tubuh, senyuman, peluk kasih, ciuman sayang, dan kata-kata. Dalam kepadatan arus informasi yang serba superfisial dan sempitnya “waktu bersama”, membuat hubungan antara orang tua – anak semakin berjarak dan semu. Artinya, hal-hal yang diutarakan dan dikomunikasikan adalah topik umum selayaknya ngobrol dengan orang-orang lainnya. Akibatnya, masing-masing pihak makin sulit mencapai tingkat pemahaman yang dalam dan benar terhadap apa yang dialami, dirasakan, dipikirkan, dibutuhkan dan dirindukan satu sama lain. Dalam pola hubungan komunikasi seperti ini, tidak heran jika ada orang tua yang kaget melihat anaknya tiba-tiba menunjukkan sikap aneh, seperti tidak mau makan, sulit tidur (insomnia), murung, , kurang percaya diri atau prestasinya meluncur drastis. Orang tua merasa selama ini anaknya seperti “tidak ada apa-apa” dan biasa saja. Lebih parah lagi, mereka menyalahkan anak, menyalahkan pihak lain, entah pihak sekolah, guru, atau malah saling menyalahkan antara ayah dengan ibu. Seringkali orang tua lupa, bahwa setiap masalah adalah hasil dari sebuah interaksi setiap orang yang terlibat di dalamnya. Setiap orang, punya kontribusi dalam mendorong munculnya masalah, termasuk masalah pada anak-anak mereka khususnya rasa kurang percaya diri yang timbul pada anak-anak mereka (Anggoro, 2006).

Dalam keluarga terdapat interaksi dan feedback (umpan balik) yang berlangsung terus menerus antara lingkungan internal dan eksternal. Bagi anak, keluarga memberikan perawatan fisik dan perhatian emosional, dan seiring dengan itu keluarga juga mengarahkan perkembangan kepribadian. Anggota keluarga satu sama lain membutuhkan hubungan saling komunikasi (Friedman, 1998).

Menurut penelitian Henker (1983) dalam Rahmadona (2007), segala sesuatu yang terjadi dalam hubungan antara orang tua-anak (termasuk emosi, reaksi dan sikap orang tua) akan membekas dan tertanam secara tidak sadar dalam diri seseorang. Untuk itu harus ada komunikasi yang baik antara remaja dengan orang tua agar tidak terjadi kesenjangan dan konflik yang berkepanjangan antara anak yang menginjak remaja dengan orang tua dalam sebuah keluarga

Kehidupan keluarga yang hangat dan hubungan antar keluarga yang erat akan memberikan rasa aman. Keluarga yang nyaman dan menyenangkan merupakan lingkungan yang kondusif (mendukung) bagi pertumbuhan dan perkembangan remaja. Remaja bisa mengembangkan diri secara optimal sesuai dengan potensi atau bakat yang dimilikinya (www. Pikiran rakyat. Com, 2005).

Komunikasi dalam keluarga dapat berlangsung secara timbal balik dan silih berganti; bisa dari orang tua ke anak atau dari anak ke orang tua atau dari anak ke anak. Komunikasi keluarga sebagai suatu proses simbolik, transaksional untuk menciptakan dan mengungkapkan pengertian dalam keluarga (Djamarah, 2004).

Menurut Notoatmojo (2002), komunikasi adalah proses pengoperasian rangsangan (stimulus) dalam bentuk lambang atau simbol bahasa atau gerak (non-verbal), untuk mempengaruhi perilaku orang lain. Stimulus atau rangsangan ini dapat berupa suara/bunyi atau bahasa lisan, maupun berupa gerakan, tindakan atau simbol-simbol yang diharapkan dapat dimengerti, oleh pihak lain. Reaksi atau respon baik dalam bentuk bahasa maupun simbol-simbol ini merupakan pengaruh atau hasil proses komunikasi.

Melalui komunikasi, orang tua bisa menyampaikan nilai-nilai yang baik kepada anaknya. Orang tua yang menunjukkan kasih, perhatian, penerimaan, cinta dan kasih sayang, kelekatan emosional yang tulus dengan anak, serta pemberian penghargaan, hadiah atau pujian apabila remaja mencapai suatu prestasi, keberhasilan atau kesuksesan akan membangkitkan rasa percaya diri pada anak tersebut. Remaja akan merasa bahwa dirinya berharga dan bernilai di mata orang tuanya. Dan, meskipun ia melakukan kesalahan, dari sikap orang tua anak melihat bahwa dirinya tetaplah dihargai dan dikasihi. Maka anak akan tumbuh menjadi individu yang mampu menilai positif dirinya dan mempunyai harapan yang realistik terhadap diri (Rini, 2002). Anak-anak belajar dari pengalaman bahwa berbicara dengan orang tua tidaklah menolong malah sering membuat tidak aman. Banyak orang tua yang oleh anak-anak mereka tidak “dianggap” sebagai sumber pertolongan. Hal inilah yang dapat mempengaruhi komunikasi antara orang tua dan anak karena tidak adanya rasa percaya pada diri anak terhadap orang tua, sehingga dapat mengakibatkan adanya jarak dalam hubungan atau renggangnya hubungan (Gordon, 1999).

Surya (2007), mengungkapkan kurangnya rasa percaya diri pada anak dapat ditimbulkan pula oleh pola komunikasi yang buruk dalam keluarga. Seperti berkata kasar pada anak, suka membentak, mengkritik, menjewer, memukul atau banyak melarang. Seorang remaja yang setiap harinya dalam lingkup keluarga yang selalu mendapat makian, olokan atau hujatan tanpa menerima dukungan dan pujian maka remaja akan menjadi lemah. Hal tersebut akan mempengaruhi rasa percaya diri pada remaja. Sehingga anak pun menjadi dihinggapi perasaan rendah diri atau minder.

Berdasarkan hasil studi pendahuluan yang telah dilakukan pada 8 responden remaja di Kelurahan XXXXXXXXXXXXX didapatkan 5 responden remaja menyatakan dekat dengan orang tuanya, sering terlibat diskusi bersama dan tidak pernah dimaki dengan kata-kata kasar. 4 diantaranya memiliki rasa percaya diri dan 1 orang merasa malu dan minder walaupun mendapat dukungan dari orang tua. Sedangkan 3 responden remaja lainnya menyatakan tidak pernah terlibat pembicaraan serius dengan orang tua apalagi saling mencurahkan isi hati, sering dimarahi apabila berbuat salah. 2 remaja diantaranya tetap yakin pada dirinya dan terkesan tidak peduli, sedangkan 1 orang yang lain merasa rendah diri karena kurangnya kepercayaan orang tua.

Dari fenomena studi pendahuluan yang dibandingkan dengan teori yang ada terdapat kesenjangan yaitu adanya persamaan komunikasi antara orang tua dan anak tetapi menghasilkan dampak yang berbeda pada kepercayaan dirinya. Berdasarkan beberapa uraian di atas dan studi pendahuluan yang telah dilakukan maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang “hubungan antara komunikasi orang tua-anak dengan kepercayaan diri pada remaja”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “ Adakah hubungan antara komunikasi orang tua – anak dengan kepercayaan diri pada remaja.



C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Mengetahui hubungan antara komunikasi orang – tua anak dengan kepercayaan diri pada remaja.

2. Tujuan Khusus

a. Mengetahui komunikasi orang – tua anak.

b. Mengetahui kepercayaan diri pada remaja.

c. Mengetahui hubungan antara komunikasi orang- tua anak dengan kepercayaan diri pada remaja.



D. Manfaat Penelitian

1. Bagi keperawatan komunitas

Diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan dalam bidang keperawatan kounitas khususya tentang komunikasi yang baik dalam keluarga sehubunga dengan penumbuha rasa percaya diri pada anak remaja.

2. Bagi remaja

Memberi masukan pada remaja tentang pentingnya kepercayaan diri.

3. Bagi orang tua

Dapat dijadikan bahan pertimbangan untuk menerapkan komunikasi yang baik bagi anak-anaknya sehubungan dengan penumbuhan rasa percaya diri pada remaja.

4. Bagi peneliti

Memberikan pengalaman nyata dalam melaksanakan penelitian sederhana secara ilmiah dalam rangka mengembangkan diri dan melaksanakan fungsi perawat sebagai peneliti (researcher).

5. Bagi pembaca

Dapat dijadikan bahan masukan untuk melakukan penelitian yang lebih mendalam dengan topik yang sama