hubungan antara komunikasi orang tua – anak dengan kepercayaan diri pada remaja

BAB I

PENDAHULUAN



A. Latar Belakang

Masa remaja adalah suatu masa yang paling menarik dan berkesan bagi kebanyakan orang. Masa dimana terjadi perubahan besar dan timbulnya begitu banyak gejolak dalam diri seseorang. Suatu masa dimana remaja menunjukkan dengan jelas sifat-sifat masa transisi atau peralihan. Masa remaja merupakan sebuah periode dalam kehidupan manusia yang batasannya usia maupun peranannya seringkali tidak terlalu jelas. Pubertas yang dahulu dianggap sebagai tanda awal keremajaan ternyata tidak lagi valid sebagai patokan atau batasan untuk pengkategorian remaja sebab usia pubertas yang dahulu terjadi pada akhir usia belasan (15-18) kini terjadi pada awal belasan bahkan sebelum usia 11 tahun. Seorang anak berusia 10 tahun mungkin saja sudah (atau sedang) mengalami pubertas namun tidak berarti ia sudah bisa dikatakan sebagai remaja dan sudah siap menghadapi dunia orang dewasa. Ia belum siap menghadapi dunia nyata orang dewasa, meski di saat yang sama ia juga bukan anak-anak lagi (Setiono, 2002).

Menurut Potter dan Perry (2005), remaja atau adolesens adalah periode perkembangan dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa, biasanya antara usia 13 dan 20 tahun. Masa remaja adalah waktu terjadinya perubahan dan pertumbuhan fisik, kognitif dan psikososil yang besar (Nelson, 1999). Pada masa ini remaja mulai bertanya-tanya mengenai berbagai fenomena yang terjadi di lingkungan sekitarnya sebagai dasar bagi pembentukan nilai diri mereka. Elliot Turiel (1978) dalam Setiono (2002) menyatakan bahwa para remaja mulai membuat penilaian tersendiri dalam menghadapi masalah-masalah populer yang berkenaan dengan lingkungan mereka, misalnya: politik, kemanusiaan, perang, keadaan sosial, dsb. Remaja tidak lagi menerima hasil pemikiran yang kaku, sederhana, dan absolut yang diberikan pada mereka selama ini tanpa bantahan. Remaja mulai mempertanyakan keabsahan pemikiran yang ada dan mempertimbangan lebih banyak alternatif lainnya. Secara kritis, remaja akan lebih banyak melakukan pengamatan keluar dan membandingkannya dengan hal-hal yang selama ini diajarkan dan ditanamkan kepadanya. Sebagian besar para remaja mulai melihat adanya “kenyataan” lain di luar dari yang selama ini diketahui dan dipercayainya.

Masa remaja merupakan masa paling tidak stabil dalam kehidupan perjalanan manusia. Pada masa ini remaja mempunyai banyak masalah yang amat menarik untuk dibicarakan. Dari mulai kecantikan, narkoba, kenakalan remaja, prososial, agresi, masalah perilaku seks remaja dan kepercayaan diri. Masalah kepercayaan diri merupakan salah satu masalah yang sering dihadapi oleh remaja karena pada masa ini terjadi begitu banyak perubahan, dimulai dari perubahan bentuk tubuh sampai perubahan emosional yang cenderung meledak-ledak. Diantara semua perubahan yang terjadi, perubahan bentuk tubuhlah yang paling menonjol. Bahkan karena perubahan tersebut remaja mengalami krisis percaya diri.. Untuk mengatasi krisis percaya diri yang terjadi pada sejumlah remaja, orangtua mempunyai peran yang besar dalam mengembalikan kepercayaan diri remaja. Bagaimanapun masa remaja adalah masalah peralihan yang cukup berat dirasakan oleh anak. Bahkan banyak diantaranya yang menghabiskan waktunya berjam-jam di depan kaca, karena ia sedang berusaha untuk tampil sesempurna mungkin (Safitri, 2007).

Percaya diri adalah kepercayaan akan kemampuan sendiri yang memadai dan menyadari kemampuan yang dimiliki, serta dapat memanfaatkan secara tepat. Percaya diri juga merupakan modal dasar untuk pengembangan dalam aktualisasi diri (eksplorasi segala kemampuan dalam diri). Dengan percaya diri seseorang akan mampu mengenal dan memahami diri sendiri (Iswidharmanjaya, 2004). Sedangkan menurut Inge (2007), rasa percaya diri adalah seberapa besar nilai kita, seberapa besar kita dicintai, seberapa besar kita merasa diterima oleh lingkungan dan dianggap baik oleh orang lain. Dan juga seberapa besar kita mencintai dan menerima diri kita. Individu dengan percaya diri mampu merasa nyaman dengan dirinya , menghargai dirinya sendiri dan bangga pada kemampuan yang dimiliki.

Para ahli berkeyakinan bahwa kepercayaan diri bukanlah diperoleh secara instant, melainkan melalui proses yang berlangsung sejak usia dini, dalam kehidupan bersama orangtua. Meskipun banyak faktor yang mempengaruhi kepercayaan diri seseorang, namun faktor pola asuh dan interaksi di usia dini, merupakan faktor yang amat mendasar bagi pembentukan rasa percaya diri. Sikap orangtua, akan diterima oleh anak sesuai dengan persepsinya pada saat itu. orangtua yang menunjukkan kasih, perhatian, penerimaan, cinta dan kasih sayang serta kelekatan emosional yang tulus dengan anak, akan membangkitkan rasa percara diri pada anak tersebut. Anak akan merasa bahwa dirinya berharga dan bernilai di mata orangtuanya walaupun ia melakukan kesalahan, dari sikap orangtua anak melihat bahwa dirinya tetaplah dihargai dan dikasihi. Anak dicintai dan dihargai bukan tergantung pada prestasi atau perbuatan baiknya, namun karena eksisitensinya. Dikemudian hari anak tersebut akan tumbuh menjadi individu yang mampu menilai positif dirinya dan mempunyai harapan yang realistik terhadap diri – seperti orangtuanya meletakkan harapan realistik terhadap dirinya (Jacinta, 2002)

Lain halnya dengan orangtua yang kurang memberikan perhatian pada anak, atau suka mengkritik, sering memarahi anak namun kalau anak berbuat baik tidak pernah dipuji, tidak pernah puas dengan hasil yang dicapai oleh anak, atau pun seolah menunjukkan ketidakpercayaan mereka pada kemampuan dan kemandirian anak dengan sikap overprotective yang makin meningkatkan ketergantungan. Tindakan overprotective orangtua, menghambat perkembangan kepercayaan diri pada anak karena anak tidak belajar mengatasi problem dan tantangannya sendiri – segala sesuatu disediakan dan dibantu orangtua. Anak akan merasa, bahwa dirinya buruk, lemah, tidak dicintai, tidak dibutuhkan, selalu gagal, tidak pernah menyenangkan dan membahagiakan orangtua. Anak akan merasa rendah diri di mata saudara kandungnya yang lain atau di hadapan teman-temannya (Cholichul, 2007)

Menurut para psikolog, orangtua dan masyarakat seringkali meletakkan standar dan harapan yang kurang realistik terhadap seorang anak atau pun individu. Sikap suka membanding-bandingkan anak, mempergunjingkan kelemahan anak, atau pun membicarakan kelebihan anak lain di depan anak sendiri, tanpa sadar menjatuhkan harga diri anak-anak tersebut. Selain itu, tanpa sadar masyarakat sering menciptakan trend yang dijadikan standar patokan sebuah prestasi atau pun penerimaan sosial. Situasi ini pada akhirnya mendorong anak tumbuh menjadi individu yang tidak bisa menerima kenyataan dirinya, karena di masa lalu (bahkan hingga kini), setiap orang mengharapkan dirinya menjadi seseorang yang bukan dirinya sendiri. Dengan kata lain, memenuhi harapan sosial. Akhirnya, anak tumbuh menjadi individu yang punya pola pikir : bahwa untuk bisa diterima, dihargai, dicintai, dan diakui, harus menyenangkan orang lain dan mengikuti keinginan mereka. Pada saat individu tersebut ditantang untuk menjadi diri sendiri – mereka tidak punya keberanian untuk melakukannya. Rasa percaya dirinya begitu lemah, sementara ketakutannya terlalu besar (Jacinta, 2002)

Peranan orangtua atau keluarga amatlah besar dalam memberikan alternatif jawaban dari hal-hal yang dipertanyakan oleh putra-putri remajanya. Perkembangan jaman yang pesat sekarang ini turut memberi andil pula dalam kehidupan keluarga. Komunikasi keluarga menjadi “barang mahal dan barang langka” karena masing-masing sibuk dengan urusan, pikiran dan perasaannya masing-masing. Akhirnya, komunikasi yang tercipta di dalam keluarga, adalah komunikasi yang sifatnya informatif dan superfisial (hanya sebatas permukaan). Sementara ayah sibuk dengan pekerjaan dan kariernya dikantor, ibu membicarakan tentang teman kerja di kantor, rencana bisnis ibu, rencana masak memasak, pertemuan arisan, acara televisi baru, atau membicarakan tentang anak teman ibu yang punya masalah. Anak-anak, punya dunianya sendiri yang sarat dengan keanekaragaman pengalaman dan cerita-cerita seru yang beredar di kalangan teman-teman mereka. Komunikasi, sesungguhnya tidak hanya terbatas dalam bentuk kata-kata. Komunikasi, adalah ekspresi dari sebuah kesatuan yang sangat kompleks : bahasa tubuh, senyuman, peluk kasih, ciuman sayang, dan kata-kata. Dalam kepadatan arus informasi yang serba superfisial dan sempitnya “waktu bersama”, membuat hubungan antara orang tua – anak semakin berjarak dan semu. Artinya, hal-hal yang diutarakan dan dikomunikasikan adalah topik umum selayaknya ngobrol dengan orang-orang lainnya. Akibatnya, masing-masing pihak makin sulit mencapai tingkat pemahaman yang dalam dan benar terhadap apa yang dialami, dirasakan, dipikirkan, dibutuhkan dan dirindukan satu sama lain. Dalam pola hubungan komunikasi seperti ini, tidak heran jika ada orang tua yang kaget melihat anaknya tiba-tiba menunjukkan sikap aneh, seperti tidak mau makan, sulit tidur (insomnia), murung, , kurang percaya diri atau prestasinya meluncur drastis. Orang tua merasa selama ini anaknya seperti “tidak ada apa-apa” dan biasa saja. Lebih parah lagi, mereka menyalahkan anak, menyalahkan pihak lain, entah pihak sekolah, guru, atau malah saling menyalahkan antara ayah dengan ibu. Seringkali orang tua lupa, bahwa setiap masalah adalah hasil dari sebuah interaksi setiap orang yang terlibat di dalamnya. Setiap orang, punya kontribusi dalam mendorong munculnya masalah, termasuk masalah pada anak-anak mereka khususnya rasa kurang percaya diri yang timbul pada anak-anak mereka (Anggoro, 2006).

Dalam keluarga terdapat interaksi dan feedback (umpan balik) yang berlangsung terus menerus antara lingkungan internal dan eksternal. Bagi anak, keluarga memberikan perawatan fisik dan perhatian emosional, dan seiring dengan itu keluarga juga mengarahkan perkembangan kepribadian. Anggota keluarga satu sama lain membutuhkan hubungan saling komunikasi (Friedman, 1998).

Menurut penelitian Henker (1983) dalam Rahmadona (2007), segala sesuatu yang terjadi dalam hubungan antara orang tua-anak (termasuk emosi, reaksi dan sikap orang tua) akan membekas dan tertanam secara tidak sadar dalam diri seseorang. Untuk itu harus ada komunikasi yang baik antara remaja dengan orang tua agar tidak terjadi kesenjangan dan konflik yang berkepanjangan antara anak yang menginjak remaja dengan orang tua dalam sebuah keluarga

Kehidupan keluarga yang hangat dan hubungan antar keluarga yang erat akan memberikan rasa aman. Keluarga yang nyaman dan menyenangkan merupakan lingkungan yang kondusif (mendukung) bagi pertumbuhan dan perkembangan remaja. Remaja bisa mengembangkan diri secara optimal sesuai dengan potensi atau bakat yang dimilikinya (www. Pikiran rakyat. Com, 2005).

Komunikasi dalam keluarga dapat berlangsung secara timbal balik dan silih berganti; bisa dari orang tua ke anak atau dari anak ke orang tua atau dari anak ke anak. Komunikasi keluarga sebagai suatu proses simbolik, transaksional untuk menciptakan dan mengungkapkan pengertian dalam keluarga (Djamarah, 2004).

Menurut Notoatmojo (2002), komunikasi adalah proses pengoperasian rangsangan (stimulus) dalam bentuk lambang atau simbol bahasa atau gerak (non-verbal), untuk mempengaruhi perilaku orang lain. Stimulus atau rangsangan ini dapat berupa suara/bunyi atau bahasa lisan, maupun berupa gerakan, tindakan atau simbol-simbol yang diharapkan dapat dimengerti, oleh pihak lain. Reaksi atau respon baik dalam bentuk bahasa maupun simbol-simbol ini merupakan pengaruh atau hasil proses komunikasi.

Melalui komunikasi, orang tua bisa menyampaikan nilai-nilai yang baik kepada anaknya. Orang tua yang menunjukkan kasih, perhatian, penerimaan, cinta dan kasih sayang, kelekatan emosional yang tulus dengan anak, serta pemberian penghargaan, hadiah atau pujian apabila remaja mencapai suatu prestasi, keberhasilan atau kesuksesan akan membangkitkan rasa percaya diri pada anak tersebut. Remaja akan merasa bahwa dirinya berharga dan bernilai di mata orang tuanya. Dan, meskipun ia melakukan kesalahan, dari sikap orang tua anak melihat bahwa dirinya tetaplah dihargai dan dikasihi. Maka anak akan tumbuh menjadi individu yang mampu menilai positif dirinya dan mempunyai harapan yang realistik terhadap diri (Rini, 2002). Anak-anak belajar dari pengalaman bahwa berbicara dengan orang tua tidaklah menolong malah sering membuat tidak aman. Banyak orang tua yang oleh anak-anak mereka tidak “dianggap” sebagai sumber pertolongan. Hal inilah yang dapat mempengaruhi komunikasi antara orang tua dan anak karena tidak adanya rasa percaya pada diri anak terhadap orang tua, sehingga dapat mengakibatkan adanya jarak dalam hubungan atau renggangnya hubungan (Gordon, 1999).

Surya (2007), mengungkapkan kurangnya rasa percaya diri pada anak dapat ditimbulkan pula oleh pola komunikasi yang buruk dalam keluarga. Seperti berkata kasar pada anak, suka membentak, mengkritik, menjewer, memukul atau banyak melarang. Seorang remaja yang setiap harinya dalam lingkup keluarga yang selalu mendapat makian, olokan atau hujatan tanpa menerima dukungan dan pujian maka remaja akan menjadi lemah. Hal tersebut akan mempengaruhi rasa percaya diri pada remaja. Sehingga anak pun menjadi dihinggapi perasaan rendah diri atau minder.

Berdasarkan hasil studi pendahuluan yang telah dilakukan pada 8 responden remaja di Kelurahan XXXXXXXXXXXXX didapatkan 5 responden remaja menyatakan dekat dengan orang tuanya, sering terlibat diskusi bersama dan tidak pernah dimaki dengan kata-kata kasar. 4 diantaranya memiliki rasa percaya diri dan 1 orang merasa malu dan minder walaupun mendapat dukungan dari orang tua. Sedangkan 3 responden remaja lainnya menyatakan tidak pernah terlibat pembicaraan serius dengan orang tua apalagi saling mencurahkan isi hati, sering dimarahi apabila berbuat salah. 2 remaja diantaranya tetap yakin pada dirinya dan terkesan tidak peduli, sedangkan 1 orang yang lain merasa rendah diri karena kurangnya kepercayaan orang tua.

Dari fenomena studi pendahuluan yang dibandingkan dengan teori yang ada terdapat kesenjangan yaitu adanya persamaan komunikasi antara orang tua dan anak tetapi menghasilkan dampak yang berbeda pada kepercayaan dirinya. Berdasarkan beberapa uraian di atas dan studi pendahuluan yang telah dilakukan maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang “hubungan antara komunikasi orang tua-anak dengan kepercayaan diri pada remaja”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “ Adakah hubungan antara komunikasi orang tua – anak dengan kepercayaan diri pada remaja.



C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Mengetahui hubungan antara komunikasi orang – tua anak dengan kepercayaan diri pada remaja.

2. Tujuan Khusus

a. Mengetahui komunikasi orang – tua anak.

b. Mengetahui kepercayaan diri pada remaja.

c. Mengetahui hubungan antara komunikasi orang- tua anak dengan kepercayaan diri pada remaja.



D. Manfaat Penelitian

1. Bagi keperawatan komunitas

Diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan dalam bidang keperawatan kounitas khususya tentang komunikasi yang baik dalam keluarga sehubunga dengan penumbuha rasa percaya diri pada anak remaja.

2. Bagi remaja

Memberi masukan pada remaja tentang pentingnya kepercayaan diri.

3. Bagi orang tua

Dapat dijadikan bahan pertimbangan untuk menerapkan komunikasi yang baik bagi anak-anaknya sehubungan dengan penumbuhan rasa percaya diri pada remaja.

4. Bagi peneliti

Memberikan pengalaman nyata dalam melaksanakan penelitian sederhana secara ilmiah dalam rangka mengembangkan diri dan melaksanakan fungsi perawat sebagai peneliti (researcher).

5. Bagi pembaca

Dapat dijadikan bahan masukan untuk melakukan penelitian yang lebih mendalam dengan topik yang sama

1 komentar:

  1. Terima kasih atas informasinya, kami akan coba terapkan dalam komunikasi antara remaja dengan orang tua yang anda tuliskan, karena bila remaja atau anak muda sudah tidak memiliki rasa segan terhadap orang tua ada bahayanya juga, karena anak-anak muda sekarang berbeda dengan remaja tempo dulu, etika dan moral pada remaja sekarang semakin merosot. Bila tidak ada yang disegani dikuatirkan remaja sekarang akan tidak terkontrol. Semoga tulisan anda bermamfaat. Gbu

    BalasHapus