HUBUNGAN ANTARA LAMA BEDREST DENGAN KEJADIAN GANGGUAN ELIMINASI BUANG AIR BESAR (BAB) PADA PASIEN JANTUNG KORONER

BAB I

PENDAHULUAN



A. Latar belakang

Seiring dengan kemajuan teknologi membuat masyarakat kita mengalami pergeseran dari masyarakat kuno menjadi modern. Penyakit kardiovaskuler merupakan penyebab kematian terbesar di Negara berkembang seperti Indonesia. Dari 50 juta kematian per tahun akibat penyakit kardiovaskuler, 39 juta terjadi di Negara berkembang. Di Indonesia sekarang ini menempati urutan yang pertama sebagai penyebab kematian. Dulu penyakit tersebut diderita oleh orang tua terutama yang berumur 60 tahun ke atas, karena usia merupakan salah satu faktor resiko terkena penyakit jantung. Namun sekarang ini ada kecenderungan juga diderita oleh pasien di bawah usia 40 tahun. Hal ini bisa terjadi karena adanya perubahan gaya hidup, terutama pada orang muda perkotaan modern (Yahya, 2006).

Pada tahun 2020 diperkirakan penyakit cardiovasculer menjadi penyebab kematian 25 orang setiap tahunnya. Oleh karena itu, penyakit jantung koroner menjadi penyebab kematian dan kecacatan nomer satu di dunia. Sedangkan menurut WHO mencatat lebih dari 7 juta orang meninggal akibat penyakit jantung koroner di seluruh dunia pada tahun 2002. Dan angka ini diperkirakan akan meningkat hingga 11 juta orang pada tahun 2020. Untuk Indonesia sendiri hasil Survei Kesehatan Nasional pada tahun 2001 menunjukkan tiga dari 1000 penduduk Indonesia mengalami penyakit jantung koroner.

Menurut Maulana (2007), serangan jantung adalah suatu kondisi ketika kerusakan dialami oleh bagian otot jantung (myocardium) akibat sangat berkurangnya pasokan darah ke jantung dan itu terjadi mendadak. Serangan jantung ini digambarkan sebagai rasa sakit yang amat sangat dibagian dada yang terjadi terus menerus hingga setengah jam.

Setelah penurunan nyeri dada pada pasien jantung koroner, terapi yang paling penting dilakukan adalah untuk memaksimalkan curah jantung sementara beban jantung terbatas. Meminimalkan beban kerja jantung dapat dilakukan dalam berbagai cara salah satunya dengan pemberian bedrest. Kerja miokard dapat dibatasi hanya dengan mengurangi penggunaan energi oleh seluruh tubuh. Pengobatan primer yang diberikan pada pasien penyakit jantung adalah tirah baring, agar jaringan yang mengalami infark membaik, dengan demikian akan mengurangi insidens terjadinya komplikasi. Sehingga dapat menyelamatkan daerah sistemik disekitar infark, dengan demikian mengurangi ukuran akhir infark. Tirah baring merupakan suatu intervensi dimana klien dibatasi untuk tetap berada ditempat tidur untuk tujuan teraupetik (Potter & Perry, 2005).

Perubahan dalam tingkat mobilisasi fisik dapat mengakibatkan instruksi pembatasan gerak dalam bentuk tirah baring atau bedrest, pembatasan gerak fisik selama penggunaan alat bantu eksternal, pembatasan gerakan volunter, atau kehilangan fungsi motorik. Adapun pengaruh fisiologi antara lain perubahan metabolik, perubahan sistem respiratori, perubahan sistem kardiovaskuler, perubahan sistem muskuloskeletal, perubahan sistem integumen, perubahan eleminasi dalam hal ini bisa terjadi perubahan pola eliminasi urine dan bowel. Konstipasi adalah penurunan frekuensi defekasi, yang diikuti oleh pengeluaran feses yang lama atau keras dan kering (Potter & Perry, 2005). Hampir setiap orang suatu saat pasti akan mengalami konstipasi. Penyebab terbanyak adalah diit yang kurang baik dan kurang olah raga. Di Amerika Serikat lebih dari 4 juta penduduk mempunyai keluhan sering konstipasi, hingga prevalensinya mencapai sekitar 2 %. Konstipasi diperkirakan menyebabkan 2,5 juta penderita berkunjung ke dokter setiap tahunnya. Sebagian besar penderita konstipasi dapat diobati secara medik, menghasilkan perbaikan keluhan. Pada tahun 1999 Komite Konsensus Internasional telah membuat suatu pedoman untuk membuat diagnosis konstipasi. Diagnosis dibuat berdasar adanya keluhan paling sedikit 2 dari beberapa keluhan berikut, minimal dalam waktu 1 tahun tanpa pemakaian laksans (kriteria Roma II), yaitu (Whitehead 1999) : (1) defekasi kurang dari 3x/minggu, (2) mengejan berlebihan minimal 25 % selama defekasi, (3) perasaan tidak puas berdefekasi minimal 25 % selama defekasi, (4) tinja yang keras minimal 25 %, (5) perasaan defekasi yang terhalang, dan (6) penggunaan jari untuk usaha evakuasi tinja.

Adapun efek dari konstipasi pada pasien jantung koroner ini adalah dapat meningkatkan beban kerja jantung saat defekasi. Manuver valsava akan merangsang peningkatan beban kerja jantung dan mencetuskan nyeri dada berulang.

Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan di RSUD xxxxxx pada bulan Desember tahun 2007 diperoleh data yaitu untuk rawat inap pada pasien jantung koroner pada bulan Januari – Oktober 2007 sebanyak 275 kasus (Rekam Medis RSUD xxxxxxxx, 2007). Umumnya pasien saat mengalami nyeri akut akan di rawat di ICCU dulu kemudian baru di pindahkan ke ruangan. Pada pasien yang di rawat inap biasanya menempati Ruang Anggrek I. Menurut Kepala Ruang Anggrek pasien jantung khususnya jantung koroner kini tidak hanya diderita oleh kalangan ekonomi atas namun kini banyak yang berasal dari kalangan ekonomi rendah. Sedangkan menurut perawat di ICCU pasien penyakit jantung koroner umumnya akan dilakukan bedrest selama 5-7 hari. Dan pasien yang mengalami gangguan eliminasi itu rata-rata 80%. Mengingat banyaknya pasien yang dilakukan bedrest, pasien takut untuk melakukan gerakan dimana mereka beranggapan akan dapat menimbulkan nyeri lagi, namun efek dari bedrest itu sendiri akan beresiko terjadi penurunan peristaltik usus yang mengakibatkan terjadinya konstipasi. Konstipasi ini biasanya terjadi pada hari ke 3 maupun hari ke 4 pasien itu dirawat namun, hal itu tergantung dari keadaan pasien.





Berdasarkan uraian tersebut penulis sangat tertarik melakukan penelitian yang berjudul. ”Hubungan Lama Bedrest dengan Kejadian Gangguan Eliminasi Buang Air Besar (BAB) pada Pasien Jantung Koroner”.



B. Masalah penelitian

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka dapat dirumuskan masalah penelitian “Adakah hubungan antara lama bedrest dengan kejadian gangguan eliminasi buang air besar (BAB) pada pasien jantung koroner ?”



C. Tujuan penelitian

1. Tujuan umum

Mengetahui hubungan antara lama bedrest dengan kejadian gangguan eliminasi buang air besar (BAB) pada pasien jantung koroner.

2. Tujuan khusus

a. Mengetahui gambaran lama bedrest pada pasien jatung koroner.

b. Mengetahui kejadian gangguan eliminasi buang air besar (BAB) pada pasien jantung koroner.

c. Mengetahui hubungan antara lama bedrest dengan kejadian gangguan eliminasi buang air besar (BAB) pada pasien jantung koroner.



D. Manfaat penelitian

1. Bagi Peneliti

Sebagai sarana dalam menerapkan ilmu dan teori yang didapat saat di bangku kuliah. Selain itu juga untuk menambah pengalaman dan wawasan peneliti tentang hubungan antara lama bedrest dengan kejadian gangguan eliminasi buang air besar (BAB) pada pasien jantung koroner serta memperkaya pengetahuan tentang peran perawat sebagai peneliti dan memanfaatkan hasil penelitian untuk meningkatkan mutu pelayanan keperawatan.

2. Bagi institusi

Hasil penelitian ini dapat dijadikan masukan bagi tenaga kesehatan dalam memberikan pelayanan kesehatan terutama pada pasien penyakit jantung koroner pada saat memberikan tindakan prosedural.

3. Bagi masyarakat

Sebagai sumber informasi bagi masyarakat sehingga dapat mengetahui masalah-masalah gangguan eliminasi buang air besar (BAB) akibat lama bedrest pada pasien jantung koroner.





4. Bagi peneliti lain

Diharapkan penelitian ini dapat bermanfaat untuk mengembangkan penelitian selanjutnya.

5. Bagi perawat

Hasil penelitian ini diharapkan sebagai masukan agar nantinya saat pemberian asuhan keperawatan tidak mengabaikan adanya efek dari penatalaksanaan yang diberikan pada pasien yang mengalami panyakit jantung khususnya jantung koroner.

1 komentar:

  1. minta info ini penelitiannya dirumah sakit mana kak? terimakasih

    BalasHapus